Ombusdman Panggil Menteri LHK dan Mentan Terkait HGU Dimasukkan Sebagai Kawasan Hutan

 Nasional&Daerah, Pertanian&lingkungan
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika,Ombusdman RI minta penjelasan pemerintah berkaitan polemik penyelesaian izin di kawasan hutan melalui 110A dan 110B UU Cipta Kerja.

 

JAKARTA, TRIBUNENUSANTARA.COM

Menindaklanjuti  aduan beberapa  organisasi petani dan pelaku usaha sawit nasional, Ombudsman Ri akan memanggil Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbahaya untuk membahas pemutihan lahan sawit di kawasan hutan hari ini, Selasa (31/10/2023).

Pemutihan ini paling lambat berlangsung pada tanggal 2 November 2023. Dasar hukum pemutihan ini mengacu pada pasal 110A dan B Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) Nomor 110 A dan 110 B yang mengatur soal izin berusaha di kawasan hutan dan sanksi jika melanggar.

Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengungkapkan bahwa kasus ini sudah menjadi kegelisahan publik. Pasalnya penetapan kawasan hutan yang di dalamnya terdapat lahan sawit disebabkan adanya kerancuan dalam proses perizinan sehingga menimbulkan polemik di kalangan pelaku usaha.

“Besok jam 14.00. Kalau kami undang Menterinya. Karena gini, yang jadi fokus Ombudsman, sawit kan sudah ditanam dan pelaku usaha sudah klaim punya HGU (hak guna usaha). Waktu itu statusnya dibuat HGU, tiba-tiba di masa sekarang pemerintah justifikasi sebagai kawasan hutan” ujar Yeka kepada media di Jakarta Selatan pada Senin (31/10/2023).

 

“Kalau dia tidak bisa menjelaskan motifnya, maka kemungkinan Ombudsman akan melihat 2 November ini waktunya diperpanjang. Kedua, yang sudah eksisting ya sudah enggak usah diganggu gugat,” tutur dia.

Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah mengesahkan Keputusan Presiden Nomor 9 tahun 2023 tentang Satgas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara.

Satgas tersebut akan menangani pemutihan lahan sawit seluas 3,3 juta hektare di kawasan hutan dengan tenggat 2 November 2023. Adapun dasar hukumnya adalah Pasal 110A dan Pasal 110B di Undang-undang Cipta Kerja.

Dalam Pasal 110A dijelaskan, setiap orang yang melakukan kegiatan usaha yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan sebelum berlakunya Undang-undang Cipta Kerja yang belum memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat tanggal 2 November 2023. Jika tidak, akan dikenai sanksi administratif berupa pembayaran denda dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha.

Sementara dalam Pasal 110 B dijelaskan, setiap orang yang melakukan pelanggaran, sebagaimana Pasal 17 UU Cipta Kerja, tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebelum tanggal 2 November 2020 dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda, dan/atau paksaan pemerintah.

Sebelumnya, beberapa organisasi seperti APKASINDO, GAPKI, APROBI, GIMNI, JPSN, dan SPKS pada 13 Oktober lalu mengadakan audiensi dengan Ombudsman RI.

 

“Harga TBS saat ini tidak baik-baik saja, APKASINDO berharap kepada Ombudsman RI melihat permasalahan 3 tahun terakhir harus fair (dilihat dari regulasi yang ada harus direvisi),” ujar Apkasindo dalam notulensi rapat.

Sementara itu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengusulkan agar perkebunan sawit yang terindentifikasi masuk kawasan hutan (sudah tertanam, punya perjanjian ILOK dan IUP serta HGU): lahan yang sudah mempunyai SHM dan HGU mestinya dikeluarkan dari ketentuan oleh Satgas Tata Keola Industri Sawit. Selanjutnya, GAPKI meminta rencana penerapan bursa CPO jangan sampai menambah beban dan mengurangi daya saing industri.

 

Redaksi///

Author: 

Akurat dan Terpercaya

No Responses